Monday, July 30, 2012

Industrialisasi Ramadhan versus Kesederhanaan Kiayi Kampung [Bagian 1]



Industrialisasi Ramadhan versus Kesederhanaan Kiayi Kampung - Bulan Ramadhan berarti bulan penuh dengan berkah. Datangnya bulan Ramadhan berarti rizki akan bertambah, namun selain itu juga, pengeluaran akan bertambah dengan bertambah naiknya harga-harga barang yang beredar di Masyarakat. Tapi, sudah menjadi rahasia umum bila di bulan Ramadhan, yang naik tidak hanya harga, tapi juga kejahatan, pengemis jalanan dan juga uang palsu.

Naiknya harga tidak menyebabkan berkurangnya minat masyarakat terhadap tren busana muslim di Indonesia yang paling baru. Tren baru  busana muslim pada Ramadah kali ini diantaranya adalah motif bordir baju koko ala SBY. Dan juga busana dengan motif kaftan ala Syahrini, yang serba ”blink” di aksen leher, dada, hingga perut.

Ramadhan memang serba ”blink”. Diperkirakan uang yang berputar senilai Rp 64 triliun di Bulan ini. Bahkan, mal-mal menaikkan jumlah penjualan produk mereka hingga 40 persen. Hal ini mencerminkan hasrat-hasrat konsumerisme yang dilegitimasi oleh kebutuhan rohani dan dikapitalisasi oleh industri. Inilah ”industrialisasi puasa”.

Sesungguhnya, puasa bukanlah sekadar tidak makan dan minum selama sebulan penuh, tetapi merujuk perilaku manusia ”muttagin”, yakni nilai keutamaan manusia, seperti tidak tamak, toleran, sabar, berbagi, dan lain-lain. Dengan kata lain, puasa adalah sebuah perlawanan terhadap hasrat-hasrat konsumerisme.

Hasrat konsumerisme adalah cermin sebuah perilaku fashion, layaknya mengonsumsi kaftan Syahrini, tidak lagi sekadar berkehendak, tetapi mengalami, memiliki, serta mengejar, yang tidak pernah berhenti mengikuti tren, sebuah nihilisme yang terus dibarukan dan diremajakan. [bmb/ya]


Selanjutnya

No comments:

Post a Comment