Monday, July 30, 2012

Industrialisasi Ramadhan versus Kesederhanaan Kiayi Kampung [Bagian 3]



Industrialisasi Ramadhan versus Kesederhanaan Kiayi Kampung - Sesungguhnya kita banyak mengalami lompatan yang luar biasa, tetapi juga kehilangan yang luar biasa. Ketua NU sekaligus Ketua Majelis Wali Amanah UI saat menyambut berdirinya Abdurrahman Wahid Center di Universitas Indonesia juga berkata hal yang sama. Kiai ini hadir di tengah tengah mahasiswa dengan mengenakan kopiah ala kiai desa, meski tentu saja kopiahnya tidak sepopuler fashion ala Ustaz Jefry.

Memang benar, negeri ini telah banyak mengalami kehilangan luar biasa. Termasuk kehilangan sebuah kerisauan Gus Dur, yakni hilangnya ruang komunikasi bagi keteladanan kiai-kiai kampung, justru di tengah industrialisasi pesan-pesan agama. Kiai kampung dengan sarung dan kopiah sederhana, yang menghidupi desa-desa dengan bekerja bersama rakyat, mengajar dan menemani daya hidup desa yang beragam. Merekalah yang menghidupi sejarah toleransi Islam serta kebangsaan di sudut-sudut Indonesia.

Oleh karena itu, di bulan Ramadhan yang serba ”blink” ini, saya memilih mendengarkan tembang-tembang santi suaran, tembang Islami dengan iringan gamelan, yang dalam sejarah Islam menghidupi masjid-masjid sebagai bagian dari Islam kultural.

Simaklah cuplikan tembang ”Ilir-ilir” yang digunakan Sunan Kalijogo untuk menumbuhkan Islam di tanah Jawa (terjemahan bebas):

Lir-ilir tandure wis sumilir

Bangunlah, saatnya menanam benih pikiran dengan kejernihan

Tak ijo royo-royo tak senggah temanten anyar

Suburkanlah nilai manfaat, inilah nilai membawa kegembiraan baru

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi ....

Gembalakan hati kamu, hidupkan dirimu dengan rukun Islam

(Catatan: belimbing dengan lima sisi adalah simbol dari rukun Islam) [bmb/ya]

No comments:

Post a Comment